? ??????????????Never Leave? ????? ?? ???Rating: 5.0 (1 Rating)??8 Grabs Today. 981 Total Grabs. ??????Pre
view?? | ??Get the Code?? ?? ???????????????????????????????????????????Unreachable Star? ????? ?? ???Rating: 4.2 (9 Ratings)??7 Grabs Today. 3378 Total Grabs. ??????Preview?? | ??Ge BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS ?

Tuesday, October 27, 2009

Menjadi suami yang disukai: Indah di atas sunnah





sumber:http://arifardiyansah.wordpress.com

Kalau bukan karena kepatuhan kita pada ajaran Islam, memang sulit bagi kita mengakui otoritas siapapun selain kita. Karena dasarnya manusia itu selalu mau menang sendiri. Kalau kebetulan kita seorang isteri, payahlah kita mengakui otoritas seorang suami. Segala yang menjadi haknya yang kita anggap enak, tentu akan senang kita akui. Saat menjadi suamipun, kita masih ingin mencaplok hak-hak isteri bahkan hak-hak anak kita. Karena di jaman resesi ini, segala hal mengalami erosi mencengangkan, termasuk kepercayaan. Siapapun yang ada di depan kita, layak untuk tidak dipercayai. Itulah sebabnya, hari ini kita begitu menggebu-gebu memilih seorang pemimpin, namun akhirnya hanya untuk kita paksa turun dari kekuasaannya. Suami termasuk manusia yang memiliki kedudukan tergugat di posisinya. Gaung emansipasi terlalu ganas untuk sekadar diberi peringatan agar berhenti mengudara sejenak saja. Padahal ia lah biang keladi jadi terjadinya krisis kepercayaan terhadap pemimpin pertama kehidupan masyarakat kita, dalam sebuah keluarga, yaitu suami. Krisis itu makin diperparah, dengan makin banyaknya suami yang tak lagi mampu mengendalikan rumah tangga. Lalu kenapa itu bisa terjadi? Pertama, karena kegagalan mereka membangun kepribadian yang sehat, berbudi pekerti luhur dan konsisten terhadap panduan-panduan syariat. Kedua, karena ketidakberhasilan mereka menanamkan nilai-nilai kebajikan pada keluarga, dari soal-soal yang kecil, hingga yang terbesar. Dari persoalan keyakinan, hingga hal-hal praktis keseharian. Semua ini akan bisa diperjelas dalam lembaran-lembaran berikut.

Di sini, saya hanya ingin menegaskan, bahwa saat seorang suami gagal membentuk kepribadiannya sendiri agar menyatu dengan keluhuran ajaran syariat, lalu karena itu pula ia kembali gagal menanamkan nilai-nilai kebaikan dalam keluarga, saat itu pula ia akan gagal total meraih cinta yang tulus dari isteri dan anak-anaknya. Ok, mungkin sebagian kita akan sedikit bertanya, ‘Bukankah banyak suami yang dicintai isterinya, dan disukai oleh anak-anaknya, sementara ia bukanlah orang yang patuh pada ajaran syariat?’ Seyogyanya saya jawab dengan, ya. Tapi terpaksa saya harus menjawab, ‘tidak.’ Karena semua itu akan kembali kepada kontraversi dalam pemaknaan cinta dan kasih sayang. Untuk hal ini, saya cuma akan menegaskan satu hal: cinta yang tulus hanyalah cinta yang dibangun di atas nilai-nilai kebenaran, yang berujung pada kepatuhan mutlak terhadap syariat Yang Maha Kuasa. Karena cinta kasih itu membutuhkan pelabuhan, dan tidak ada pelabuhan yang lebih aman dan lebih menjamin segala-galanya selain pelabuhan syariat Yang Maha Pengasih. Saya akan jelaskan begini. Seorang suami mencintai isterinya, dan si isteri juga mencintainya. Untuk apa mereka saling mencintai? Ke mana cinta mereka akan berakhir? ‘Cinta, ya cinta, titik!’ Bila itu jawabannya, maka itu adalah cinta palsu. Karena bagaimana mungkin cinta sejati tak dapat diungkapkan dasar dan tujuannya? Tapi kalau seseorang berani mengatakan, ‘Saya dan isteri saya, saling mencintai karena Allah. Kami saling mencintai, agar dapat berjumpa dengan Allah di Surga kelak, dan dapat berkumpul bersama sebagai suami isteri di kehidupan abadi,’ itulah cinta yang tulus. Karena ia memiliki dasar yang jelas. Meminjam pepatah minangkabau –tapi untuk makna yang lain–, ‘tak lapuk terkena hujan, tak lekang terkena panas, ‘ begitulah sosok cinta sejati. Cinta itu tak terhentikan, bahkan oleh kematian sekalipun. Ia menembus batas kehidupan ini, menyeberang ke kehidupan abadi. Dan cinta itu hanya dapat diperoleh, melalui perjuangan dalam menerapkan ajaran Allah. Seorang suami baru bisa memperolehnya, bila ia berhasil membimbing anak dan isterinya menuju jalan kebenaran sesungguhnya. Maka layaklah ia menjadi suami yang dicintai, disukai dan dikasihi oleh isteri, dan juga oleh anak-anaknya. Cinta, dalam makna yang sesungguhnya pula.

Maka dalam mengulas persoalan inipun, saya tidak mau terjebak dalam sudut pandang etika yang tidak mengacu pada standar kebenaran mutlak. Saya sama sekali tidak setuju, bahwa seorang suami akan bisa meraih cinta isterinya –bila itu adalah cinta sejati–, hanya dengan menjalankan sebagian dari nilai-nilai kebenaran yang wajib dimiliki seorang suami dalam Islam, sambil mengabaikan nilai-nilai lain. Karena betapa tak sedikit isteri yang terlihat begitu mencintai suaminya, hanya karena kekayaan yang dia miliki. Isteri semacam ini akan rentan perubahan dalam cintanya, ketika harus berhadapan dengan kesulitan materi. Ia bisa terlihat begitu patuh, begitu manja, begitu menyanjung-nyanjung suaminya, hanya karena si suami mampu memenuhi segala permintaan duniawinya. Bagaimana kiranya seandainya si suami jatuh miskin? Atau, kalaupun tidak miskin, tapi tak lagi mampu memenuhi segala tuntutan materinya, kecuali sebatas kemampuannya yang jauh menurun? Begitu pula seorang suami yang mampu menaklukkan hati isterinya, dengan ketampanannya, kegagahannya, atau kemampuan dahsyatnya di atas ranjang. Bagaimana kiranya sikap sang isteri, bila ia tiba-tiba berubah loyo, atau mulai menua dan berkurang ketampanannya, atau bahkan mengalami kecelakaan dan cacat permanen? Semuanya pasti dapat ditebak. Persoalannya, semua media itu tetaplah media yang sesungguhnya bebas nilai. Ia bisa menjadi bagian dari keberhasilan seorang suami menaklukkan hati isteri, bisa juga sebaliknya, atau bisa juga hanya mampu membuat isteri terpesona dalam masa yang sangat terbatas saja.

Kemudian, ada sebuah catatan. Saya tidak akan meletakkan kiat paling diperlukan untuk menjadi suami idaman, pada urutan pertama. Karena dalam sebuah pembahasan kompleks, tak setiap hal terpenting harus didahulukan penyebutannya. Karena itu logika yang keliru dan perlu disingkirkan. Islam tak mengakui logika seperti itu. Dalam arti, suatu saat bisa saja cara itu dilakukan dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu, dan bisa saja tidak dilakukan, juga dengan pertimbangan-pertimbangan lain. Contohnya, ketika dalam Al-Quran, setelah menyebutkan pembagian hak waris terhadap ashhaabul furuudh, Allah menyebutkan, ‘..semua itu dilakukan setelah ditunaikannya hak wasiat dan hutang…’ Kenapa Allah menyebutkan wasiat terlebih dahulu, padahal dalam ajaran syariat yang Allah buat sendiiri, Allah sudah menetapkan bahwa hutang harus lebih didahulukan. Ternyata Allah punya hikmah lain di balik itu. Wasiat disebutkan terlebih dahulu, karena banyak orang yang mengabaikannya. Sementara hutang, kalaupun tidak dibayarkan, kebanyakan orang yang dihutangi akan menuntut haknya kepada para ahli waris. Sedangkan wasiat, bila tidak didahulukan pembagiannya, kebanyakan justru dilupakan. Apalagi wasiat itu diberikan kepada orang yang sama sekali tak punya hubungan darah dengan si mayit, atau bahkan sekadar untuk keperluan sosial, dan apalagi bila para Ahli Waris sudah kebelet ingin menikmati warisan.

Jadi, terkadang prioritas bisa saja diletakkan bukan di bagian pertama, karena berbagai pertimbangan. Ada kalanya karena ada hal lain yang tidak sepenting itu, namun sering diabaikan, seperti kasus ayat di atas. Ada kalanya, untuk mengikuti alur pembahasan agar lebih runut. Dan bisa jadi juga karena mengikuti urut kacang, mana yang lebih dahulu mudah terlihat, itu yang dibahas. Semua itu ada seninya sendiri-sendiri. Dan Islam amat mengapresiasi metoda seperti itu, asalkan dengan tujuan agar pembahasan lebih mudah dicerna, dan lebih mudah dinikmati. Terbukti, bahwa ayat-ayat dan surat dalam Al-Quran juga tidak disusun sesuai dengan urutan kronologis saat diturunkan. Imam Al-Bukhari menyusun kitab hadits dan memulainya dengan menyebutkan hadits tentang tentang niat, lalu tentang turunnya wahyu. Sementara Imam Muslim tidak demikian, dan banyak Ahli Hadits menyusunnya mengikuti pelajaran fiqih yang dimulai dari bab thahaarah atau bersuci, tapi Imam Malik memilih memulai kitab Al-Muwatha dengan menyebutkan riwayat-riwayat tentang waktu shalat. Masing-masing punya alasan, dan tidak setiap yang disebutkan terlebih dahulu, berarti merupakan prioritas dalam segalanya. Ini perlu saya tegaskan, karena ada salah satu dari risalah yang mendapatkan gugatan seputar itu. Dalam risalah tersebut, saya menyebutkan beberapa kiat bagaimana orang bisa menjadi kaya dengan cepat. Seseorang yang membaca naskah itu bertanya, ‘Kenapa tidak dimulai dengan bertakwa kepada Allah? Atau dengan ilmu? Bukankah para ulama As-Salaf, biasa menyebutkan urutan berdasarkan prioritas?’ Jawabannya jelas, seperti saya tegaskan di atas.

Sebagai contoh, bisa dianalogikan dengan apabila saya bertanya kepada Anda. ‘Bagaimana cara Anda makan?’ sebagian Anda bisa saja menjawab, ‘Ambil makanan dengan sendok dengan tangan kanan, di arahkan ke mulut, dikunyah dan ditelan, ‘ karena bagi Anda makan itu adalah proses memasukkan makanan kedalam perut. Itupun akan disanggah oleh orang yang terbiasa akan tanpa sendok. Sebagian Anda mungkin menjawab, ‘Duduk dahulu dengan tenang, baru dekati makanan, baru dimakan,’ karena baginya memulai makan adalah dari proses sebelum menyantapnya. Sebagian lagi mungkin menjawab, ‘Dengan bekerja keras,’ karena ia memahami bahwa yang dimaksud bagaimana cara Anda makan, yaitu bagaimana cara Anda bisa makan. Bahkan ada pula yang menjawab singkat, ‘Dengan duduk di atas tikar, di atas bangku atau di atas lantai,’ karena ia menganggap yang dimaksud adalah cara Anda saat menyantap makanan. Ini sekadar untuk menegaskan bahwa berbagai catatan di bawah, tidak saya tulis berdasarkan prioritas pada nilai urgensinya, tapi karena berbagai pertimbangan lain. Salah satu dari yang terpenting adalah agar perhatian pembaca tidak tervokus pada lembaran-lembaran pertama buku ini saja. Bila hal-hal terpenting yang dibahas sudah disebutkan sesuai dengan prioritas tingkat urgensinya, maka semakin ke belakang pembaca akan semakin menyadari bahwa hal-hal yang dibahas semakin menurun tingkat urgensinya, semakin kurang penting dan kurang diperlukan, sehingga minat meneruskan bacaan bisa jadi akan semakin menurun pula.Wallahu a’lam

kutipan dari makalah ustadz abu umar basyier dalam salah satu buku beliau. semoga bermanfaat, amien.

0 comments: