? ??????????????Never Leave? ????? ?? ???Rating: 5.0 (1 Rating)??8 Grabs Today. 981 Total Grabs. ??????Pre
view?? | ??Get the Code?? ?? ???????????????????????????????????????????Unreachable Star? ????? ?? ???Rating: 4.2 (9 Ratings)??7 Grabs Today. 3378 Total Grabs. ??????Preview?? | ??Ge BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS ?

Tuesday, October 27, 2009

Menjadi suami yang disukai: Indah di atas sunnah





sumber:http://arifardiyansah.wordpress.com

Kalau bukan karena kepatuhan kita pada ajaran Islam, memang sulit bagi kita mengakui otoritas siapapun selain kita. Karena dasarnya manusia itu selalu mau menang sendiri. Kalau kebetulan kita seorang isteri, payahlah kita mengakui otoritas seorang suami. Segala yang menjadi haknya yang kita anggap enak, tentu akan senang kita akui. Saat menjadi suamipun, kita masih ingin mencaplok hak-hak isteri bahkan hak-hak anak kita. Karena di jaman resesi ini, segala hal mengalami erosi mencengangkan, termasuk kepercayaan. Siapapun yang ada di depan kita, layak untuk tidak dipercayai. Itulah sebabnya, hari ini kita begitu menggebu-gebu memilih seorang pemimpin, namun akhirnya hanya untuk kita paksa turun dari kekuasaannya. Suami termasuk manusia yang memiliki kedudukan tergugat di posisinya. Gaung emansipasi terlalu ganas untuk sekadar diberi peringatan agar berhenti mengudara sejenak saja. Padahal ia lah biang keladi jadi terjadinya krisis kepercayaan terhadap pemimpin pertama kehidupan masyarakat kita, dalam sebuah keluarga, yaitu suami. Krisis itu makin diperparah, dengan makin banyaknya suami yang tak lagi mampu mengendalikan rumah tangga. Lalu kenapa itu bisa terjadi? Pertama, karena kegagalan mereka membangun kepribadian yang sehat, berbudi pekerti luhur dan konsisten terhadap panduan-panduan syariat. Kedua, karena ketidakberhasilan mereka menanamkan nilai-nilai kebajikan pada keluarga, dari soal-soal yang kecil, hingga yang terbesar. Dari persoalan keyakinan, hingga hal-hal praktis keseharian. Semua ini akan bisa diperjelas dalam lembaran-lembaran berikut.

Di sini, saya hanya ingin menegaskan, bahwa saat seorang suami gagal membentuk kepribadiannya sendiri agar menyatu dengan keluhuran ajaran syariat, lalu karena itu pula ia kembali gagal menanamkan nilai-nilai kebaikan dalam keluarga, saat itu pula ia akan gagal total meraih cinta yang tulus dari isteri dan anak-anaknya. Ok, mungkin sebagian kita akan sedikit bertanya, ‘Bukankah banyak suami yang dicintai isterinya, dan disukai oleh anak-anaknya, sementara ia bukanlah orang yang patuh pada ajaran syariat?’ Seyogyanya saya jawab dengan, ya. Tapi terpaksa saya harus menjawab, ‘tidak.’ Karena semua itu akan kembali kepada kontraversi dalam pemaknaan cinta dan kasih sayang. Untuk hal ini, saya cuma akan menegaskan satu hal: cinta yang tulus hanyalah cinta yang dibangun di atas nilai-nilai kebenaran, yang berujung pada kepatuhan mutlak terhadap syariat Yang Maha Kuasa. Karena cinta kasih itu membutuhkan pelabuhan, dan tidak ada pelabuhan yang lebih aman dan lebih menjamin segala-galanya selain pelabuhan syariat Yang Maha Pengasih. Saya akan jelaskan begini. Seorang suami mencintai isterinya, dan si isteri juga mencintainya. Untuk apa mereka saling mencintai? Ke mana cinta mereka akan berakhir? ‘Cinta, ya cinta, titik!’ Bila itu jawabannya, maka itu adalah cinta palsu. Karena bagaimana mungkin cinta sejati tak dapat diungkapkan dasar dan tujuannya? Tapi kalau seseorang berani mengatakan, ‘Saya dan isteri saya, saling mencintai karena Allah. Kami saling mencintai, agar dapat berjumpa dengan Allah di Surga kelak, dan dapat berkumpul bersama sebagai suami isteri di kehidupan abadi,’ itulah cinta yang tulus. Karena ia memiliki dasar yang jelas. Meminjam pepatah minangkabau –tapi untuk makna yang lain–, ‘tak lapuk terkena hujan, tak lekang terkena panas, ‘ begitulah sosok cinta sejati. Cinta itu tak terhentikan, bahkan oleh kematian sekalipun. Ia menembus batas kehidupan ini, menyeberang ke kehidupan abadi. Dan cinta itu hanya dapat diperoleh, melalui perjuangan dalam menerapkan ajaran Allah. Seorang suami baru bisa memperolehnya, bila ia berhasil membimbing anak dan isterinya menuju jalan kebenaran sesungguhnya. Maka layaklah ia menjadi suami yang dicintai, disukai dan dikasihi oleh isteri, dan juga oleh anak-anaknya. Cinta, dalam makna yang sesungguhnya pula.

Maka dalam mengulas persoalan inipun, saya tidak mau terjebak dalam sudut pandang etika yang tidak mengacu pada standar kebenaran mutlak. Saya sama sekali tidak setuju, bahwa seorang suami akan bisa meraih cinta isterinya –bila itu adalah cinta sejati–, hanya dengan menjalankan sebagian dari nilai-nilai kebenaran yang wajib dimiliki seorang suami dalam Islam, sambil mengabaikan nilai-nilai lain. Karena betapa tak sedikit isteri yang terlihat begitu mencintai suaminya, hanya karena kekayaan yang dia miliki. Isteri semacam ini akan rentan perubahan dalam cintanya, ketika harus berhadapan dengan kesulitan materi. Ia bisa terlihat begitu patuh, begitu manja, begitu menyanjung-nyanjung suaminya, hanya karena si suami mampu memenuhi segala permintaan duniawinya. Bagaimana kiranya seandainya si suami jatuh miskin? Atau, kalaupun tidak miskin, tapi tak lagi mampu memenuhi segala tuntutan materinya, kecuali sebatas kemampuannya yang jauh menurun? Begitu pula seorang suami yang mampu menaklukkan hati isterinya, dengan ketampanannya, kegagahannya, atau kemampuan dahsyatnya di atas ranjang. Bagaimana kiranya sikap sang isteri, bila ia tiba-tiba berubah loyo, atau mulai menua dan berkurang ketampanannya, atau bahkan mengalami kecelakaan dan cacat permanen? Semuanya pasti dapat ditebak. Persoalannya, semua media itu tetaplah media yang sesungguhnya bebas nilai. Ia bisa menjadi bagian dari keberhasilan seorang suami menaklukkan hati isteri, bisa juga sebaliknya, atau bisa juga hanya mampu membuat isteri terpesona dalam masa yang sangat terbatas saja.

Kemudian, ada sebuah catatan. Saya tidak akan meletakkan kiat paling diperlukan untuk menjadi suami idaman, pada urutan pertama. Karena dalam sebuah pembahasan kompleks, tak setiap hal terpenting harus didahulukan penyebutannya. Karena itu logika yang keliru dan perlu disingkirkan. Islam tak mengakui logika seperti itu. Dalam arti, suatu saat bisa saja cara itu dilakukan dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu, dan bisa saja tidak dilakukan, juga dengan pertimbangan-pertimbangan lain. Contohnya, ketika dalam Al-Quran, setelah menyebutkan pembagian hak waris terhadap ashhaabul furuudh, Allah menyebutkan, ‘..semua itu dilakukan setelah ditunaikannya hak wasiat dan hutang…’ Kenapa Allah menyebutkan wasiat terlebih dahulu, padahal dalam ajaran syariat yang Allah buat sendiiri, Allah sudah menetapkan bahwa hutang harus lebih didahulukan. Ternyata Allah punya hikmah lain di balik itu. Wasiat disebutkan terlebih dahulu, karena banyak orang yang mengabaikannya. Sementara hutang, kalaupun tidak dibayarkan, kebanyakan orang yang dihutangi akan menuntut haknya kepada para ahli waris. Sedangkan wasiat, bila tidak didahulukan pembagiannya, kebanyakan justru dilupakan. Apalagi wasiat itu diberikan kepada orang yang sama sekali tak punya hubungan darah dengan si mayit, atau bahkan sekadar untuk keperluan sosial, dan apalagi bila para Ahli Waris sudah kebelet ingin menikmati warisan.

Jadi, terkadang prioritas bisa saja diletakkan bukan di bagian pertama, karena berbagai pertimbangan. Ada kalanya karena ada hal lain yang tidak sepenting itu, namun sering diabaikan, seperti kasus ayat di atas. Ada kalanya, untuk mengikuti alur pembahasan agar lebih runut. Dan bisa jadi juga karena mengikuti urut kacang, mana yang lebih dahulu mudah terlihat, itu yang dibahas. Semua itu ada seninya sendiri-sendiri. Dan Islam amat mengapresiasi metoda seperti itu, asalkan dengan tujuan agar pembahasan lebih mudah dicerna, dan lebih mudah dinikmati. Terbukti, bahwa ayat-ayat dan surat dalam Al-Quran juga tidak disusun sesuai dengan urutan kronologis saat diturunkan. Imam Al-Bukhari menyusun kitab hadits dan memulainya dengan menyebutkan hadits tentang tentang niat, lalu tentang turunnya wahyu. Sementara Imam Muslim tidak demikian, dan banyak Ahli Hadits menyusunnya mengikuti pelajaran fiqih yang dimulai dari bab thahaarah atau bersuci, tapi Imam Malik memilih memulai kitab Al-Muwatha dengan menyebutkan riwayat-riwayat tentang waktu shalat. Masing-masing punya alasan, dan tidak setiap yang disebutkan terlebih dahulu, berarti merupakan prioritas dalam segalanya. Ini perlu saya tegaskan, karena ada salah satu dari risalah yang mendapatkan gugatan seputar itu. Dalam risalah tersebut, saya menyebutkan beberapa kiat bagaimana orang bisa menjadi kaya dengan cepat. Seseorang yang membaca naskah itu bertanya, ‘Kenapa tidak dimulai dengan bertakwa kepada Allah? Atau dengan ilmu? Bukankah para ulama As-Salaf, biasa menyebutkan urutan berdasarkan prioritas?’ Jawabannya jelas, seperti saya tegaskan di atas.

Sebagai contoh, bisa dianalogikan dengan apabila saya bertanya kepada Anda. ‘Bagaimana cara Anda makan?’ sebagian Anda bisa saja menjawab, ‘Ambil makanan dengan sendok dengan tangan kanan, di arahkan ke mulut, dikunyah dan ditelan, ‘ karena bagi Anda makan itu adalah proses memasukkan makanan kedalam perut. Itupun akan disanggah oleh orang yang terbiasa akan tanpa sendok. Sebagian Anda mungkin menjawab, ‘Duduk dahulu dengan tenang, baru dekati makanan, baru dimakan,’ karena baginya memulai makan adalah dari proses sebelum menyantapnya. Sebagian lagi mungkin menjawab, ‘Dengan bekerja keras,’ karena ia memahami bahwa yang dimaksud bagaimana cara Anda makan, yaitu bagaimana cara Anda bisa makan. Bahkan ada pula yang menjawab singkat, ‘Dengan duduk di atas tikar, di atas bangku atau di atas lantai,’ karena ia menganggap yang dimaksud adalah cara Anda saat menyantap makanan. Ini sekadar untuk menegaskan bahwa berbagai catatan di bawah, tidak saya tulis berdasarkan prioritas pada nilai urgensinya, tapi karena berbagai pertimbangan lain. Salah satu dari yang terpenting adalah agar perhatian pembaca tidak tervokus pada lembaran-lembaran pertama buku ini saja. Bila hal-hal terpenting yang dibahas sudah disebutkan sesuai dengan prioritas tingkat urgensinya, maka semakin ke belakang pembaca akan semakin menyadari bahwa hal-hal yang dibahas semakin menurun tingkat urgensinya, semakin kurang penting dan kurang diperlukan, sehingga minat meneruskan bacaan bisa jadi akan semakin menurun pula.Wallahu a’lam

kutipan dari makalah ustadz abu umar basyier dalam salah satu buku beliau. semoga bermanfaat, amien.

Wednesday, October 21, 2009

sihir dan cara melindungi diri darinya

Sihir Dan Cara Melindungi Diri Darinya
Written by admin
Tuesday, 13 October 2009
Oleh Mohd Yaakub bin Mohd Yunus
sumber: http://al-qayyim.net






Apabila kita membicarakan tentang isu sihir maka kebiasaanya kita akan berhadapan dengan tiga golongan manusia iaitu mereka yang tidak mempercayai kewujudannya, mereka yang terpengaruh serta menggunakan khidmat ahli sihir dan mereka yang terlalu takut dengan kesan ilmu sihir sehingga tidak mengetahui apakah tindakan yang perlu dilakukan bagi melindungi diri mereka dari terkena sihir.

Apa itu sihir? Menurut Ibnu Qudamah Al-Maqdisi di dalam al-Mughni sihir adalah ikatan-ikatan, jampi-jampi, perkataan yang dilontarkan secara lisan mahupun tulisan, atau melakukan sesuatu yang mempengaruhi badan, hati atau akal orang yang terkena sihir tanpa berinteraksi langsung dengannya. Sihir ini mempunyai hakikat di antaranya ada yang boleh membunuh, menyakiti, membuat seseorang suami tidak boleh menggauli isterinya atau memisahkan pasangan suami isteri, atau membuat salah satu pihak membenci lainnya atau membuat kedua belah pihak saling mencintainya.



Amalan sihir ini sebenarnya mempunyai hubung kait yang rapat dengan alam jin dan syaitan. Tukang sihir, pawang, dukun atau bomoh menjalankan ilmu-ilmu hitamnya menerusi pertolongan jin dan syaitan. Ahli sihir perlu melakukan amalan-amalan syirik, khurafat dan tahyul terlebih dahulu demi untuk mengukir persahabatan yang erat dengan jin dan syaitan yang mereka pergunakan untuk melakukan kerja-kerja jahat mereka. Apabila tukang sihir meningkatkan amalan-amalan yang kufur tersebut, maka jin dan syaitan itu akan lebih taat kepadanya dan lebih cepat melaksanakan perintahnya. Sehubungan dengan itu tukang sihir dan syaitan merupakan teman setia yang saling bekerjasama dalam melakukan perbuatan yang terkutuk di sisi syarak dan ini merupakan perbuatan yang telah dicela oleh Allah S.W.T sebagaimana firman-Nya: “Dan bahawa sesungguhnya adalah (amat salah perbuatan) beberapa orang dari manusia, menjaga dan melindungi dirinya dengan meminta pertolongan kepada ketua-ketua golongan jin, kerana dengan permintaan itu mereka menjadikan golongan jin bertambah sombong dan jahat.” (al-Jinn : 6)

Bagi sesetengah pihak, sekiranya sesuatu perkara itu tidak boleh dibuktikan mengikut kaedah saintifik maka dia akan menolaknya secara mentah-mentah seolah-olah ilmu sains itu merupakan suatu cabang ilmu yang telah sempurna tanpa cacat-cela. Tahukah mereka bahawa ilmu sains itu sentiasa berkembang dan penemuan-penemuan baru sentiasa diumumkan dari masa ke semasa. Adakalanya penemuan-penemuan baru itu membatalkan penemuan-penemuan terdahulu yang setelah diteliti semula ia didapati kurang tepat. Tidak mustahil juga sekiranya sesuatu perkara itu tidak dapat dibuktikan oleh teknologi sains pada masa kini tetapi dapat disahkan benar pada masa hadapan. Dalam erti kata lain ilmu Sains bukanlah sesuatu cabang ilmu yang telah sempurna atau maksum. Sesuatu perkara itu hanya kita boleh diyakini sebagai seratus peratus benar sekiranya ia termaktub di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah.

Apa pun sihir dan alam jin ini sebenarnya termasuk dalam perkara-perkara ghaib dan bagi umat Islam perkara sedemikan rupa hendaklah kita tunduk dan patuh kepada nas-nas dari al-Qur’an dan hadis. Sekiranya sihir itu tidak wujud mana mungkin Allah S.W.T menyuruh kita berlindung diri dari perbuatan tukang sihir sebagaimana firman-Nya: Katakanlah (wahai Muhammad); "Aku berlindung kepada (Allah) Tuhan yang menciptakan sekalian makhluk, dari bencana makhluk-makhluk yang Dia ciptakan; dan dari bahaya gelap apabila ia masuk; dan dari kejahatan makhluk-makhluk (tukang sihir) yang menghembus-hembus pada simpulan-simpulan (dan ikatan-ikatan); dan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia melakukan dengkinya". (al-Falaq : 1-5) Di dalam al-Qur’an juga terdapat kisah-kisah tentang Nabi Musa a.s. bertarung dengan tukang-tukang sihir Fir’aun. Bahkan dalam riwayat hidup Rasulullah baginda juga pernah terkena sihir Labid bin al-A'sham, seorang tukang sihir Yahudi sebagaimana yang telah diriwayatkan dalam Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim.

Bagi mereka yang terbabit dengan perbuatan sihir dan suka bertemu dengan ahli sihir seperti pawang, dukun dan bomoh, ketahuilah bawah amalan sihir ini termasuk dalam kategori dosa-dosa besar. Nabi s.a.w. bersabda: “Jauhilah diri kamu daripada tujuh dosa yang boleh membinasakan.” Baginda ditanya: “Apakah dosa itu wahai Rasulullah?” Baginda berkata: “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah melainkan dengan jalan yang benar, memakan harta anak yatim, memakan riba, lari dari medan pertempuran perang dan menuduh perempuan yang suci melakukan zina.”(Hadis riwayat Imam al-Bukhari)

Sehubungan dengan itu adalah diharamkan untuk bertemu bahkan mempercayai ahli sihir dan tukang ramal kerana ia merupakan perbuatan yang kufur. Sabdanya: Rasulullah s.a.w. bersabda: “Bukan termasuk golongan kami yang melakukan atau meminta tathayyur (menentukan nasib sial berdasarkan tanda-tanda benda,burung dan lain-lain), yang meramal atau yang meminta diramalkan, yang menyihir atau meminta disihirkan dan barangsiapa mendatangi peramal dan membenarkan apa yang dia katakan, maka sesungguhnya dia telah kafir terhadap wahyu yang diturunkan kepada Muhammad s.a.w."(Hadis riwayat al-Bazzaar)

Tukang-tukang sihir ini telah banyak melakukan kerosakan serta huru-hara di dalam sesebuah masyarakat. Lantaran itu majoriti para ulama mengharuskan hukuman bunuh terhadap tukang sihir. Akan tetapi Imam al-Syafi’i r.h berpendapat tukang sihir hanya boleh dikenakan hukuman bunuh sekiranya dia menggunakan ilmu sihirnya itu untuk membunuh jiwa insan yang lain. Imam al-Syafi’i mengkategorikan hukuman terhadap tukang sihir ini sebagai qisas.

Dalam usaha seseorang itu untuk menghindarkan diri dari terkena sihir, janganlah pula dia turut mengamalkan perbuatan yang memiliki unsur sihir atau meminta pertolongan daripada ahli sihir. Hendaklah setiap umat Islam melindungi diri mereka dari niat jahat tukang-tukang sihir itu dengan membaca ayat-ayat al-Qur’an serta doa-doa yang telah diajar oleh Rasulullah s.a.w. Berikut adalah beberapa petua yang di ambil dari hadis-hadis baginda.

§ Membaca ayat Kursi iaitu surah al-Baqarah ayat 255 setiap kali selesai solat lima waktu dan sebelum tidur.

§ Membaca surah al-Ikhlas, al-Falaq dan al-Naas setiap kali selesai solat lima waktu dan membaca ketiga surah tersebut sebanyak tiga kali pada pagi hari sesudah solat Subuh dan menjelang malam sesudah solat Maghrib.

§ Membaca dua ayat terakhir dari surat al-Baqarah iaitu ayat 285-286 pada permulaan malam.

§ Membaca doa




أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ



"Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan makhluk ciptaan-Nya" pada malam hari dan siang hari ketika ingin pergi atau masuk ke sesuatu tempat.




§ Membaca doa


بِسْمِ اللهِ لاَ يَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَيْءٌ فِي اْلأَرْضِ وَلاَ فِي السَّمَاءِ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ



"Dengan nama Allah, yang bersama nama-Nya, tidak ada sesuatu pun yang membahayakan, baik di bumi mahupun di langit dan Dia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui." tiga kali pada pagi hari dan menjelang malam.


Menurut Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz r.h bacaan-bacaan zikir dan permohonan perlindungan di atas ini merupakan sebab-sebab yang besar untuk memperoleh keselamatan dan untuk menjauhkan diri dari kejahatan sihir atau kejahatan lainnya iaitu bagi mereka yang selalu mengamalkannya secara benar disertai keyakinan yang penuh kepada Allah, bertumpu dan pasrah kepada-Nya dengan lapang dada dan hati yang khusyuk.

"ada apa aku dan dunia ini?"

“Ada apa aku dan dunia ini! Tiadalah dunia dan aku ini melainkan seperti seorang pengembara yang berlindung dari panas di bawah sepohon pokok, kemudian pergi meninggalkannya”. (Riwayat al-Tirmizi, dinilai sahih oleh al-Albani).

Wednesday, September 30, 2009

kedudukan wanita dalam Islam

Kedudukan Wanita Dalam Islam
Berikut ini adalah jawaban dari pertanyaan yang terdapat dalam majalah Al-Jail di Riyadh (Arab Saudi) tentang kedudukan wanita dalam Islam yang disampaikan oleh Syaikh Ibnu Baz.

***

Segala puji hanya milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi dan Rasul yang paling mulia, kepada keluarganya, sahabatnya, serta kepada siapa saja yang meniti jalannya sampai hari pembalasan.

Sesungguhnya wanita muslimah memiliki kedudukan yang tinggi dalam Islam dan pengaruh yang besar dalam kehidupan setiap muslim. Dia akan menjadi madrasah pertama dalam membangun masyarakat yang shalih, tatkala dia berjalan di atas petunjuk Al-Qur’an dan sunnah Nabi. Karena berpegang dengan keduanya akan menjauhkan setiap muslim dan muslimah dari kesesatan dalam segala hal.

Kesesatan dan penyimpangan umat tidaklah terjadi melainkan karena jauhnya mereka dari petunjuk Allah dan dari ajaran yang dibawa oleh para nabi dan rasul-Nya. Rasulullah bersabda, “Aku tinggalkan pada kalian dua perkara, di mana kalian tidak akan tersesat selama berpegang dengan keduanya, yaitu Kitab Allah dan sunnahku.” (Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam al-Muwaththa’ kitab Al-Qadar III)

Sungguh telah dijelaskan di dalam Al-Qur’an betapa pentingnya peran wanita, baik sebagai ibu, istri, saudara perempuan, mapun sebagai anak. Demikian pula yang berkenaan dengan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya. Adanya hal-hal tersebut juga telah dijelaskan dalam sunnah Rasul.

Peran wanita dikatakan penting karena banyak beban-beban berat yang harus dihadapinya, bahkan beban-beban yang semestinya dipikul oleh pria. Oleh karena itu, menjadi kewajiban bagi kita untuk berterima kasih kepada ibu, berbakti kepadanya, dan santun dalam bersikap kepadanya. Kedudukan ibu terhadap anak-anaknya lebih didahulukan daripada kedudukan ayah. Ini disebutkan dalam firman Allah,

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu. Hanya kepada-Ku lah kamu akan kembali.” (QS. Luqman: 14)

Begitu pula dalam firman-Nya, “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada ibu bapaknya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandung dan menyapihnya adalah tiga puluh bulan.” (QS. Al-Ahqaf: 15)

Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa pernah ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah, siapa orang yang paling berhak bagi aku untuk berlaku bajik kepadanya?” Nabi menjawab, “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi, “Kemudian setelah dia siapa?” Nabi menjawab, “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi, “Kemudian setelah dia siapa?” Nabi menjawab, “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi, “Kemudian setelah dia siapa?” Nabi menjawab, “Ayahmu.” (HR. Bukhari, Kitab al-Adab no. 5971 juga Muslim, Kitab al-Birr wa ash-Shilah no. 2548)

Dari hadits di atas, hendaknya besarnya bakti kita kepada ibu tiga kali lipat bakti kita kepada ayah. Kemudian, kedudukan isteri dan pengaruhnya terhadap ketenangan jiwa seseorang (suami) telah dijelaskan dalam Al-Qur’an.

Allah berfirman,
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan menjadikan rasa kasih dan sayang di antara kalian.” (QS. Ar-Rum: 21)

Al-Hafizh Ibnu Katsir -semoga Alah merahmatinya- menjelaskan pengertian firman Allah: “mawaddah wa rahmah” bahwa mawaddah adalah rasa cinta, dan rahmah adalah rasa kasih sayang.

Seorang pria menjadikan seorang wanita sebagai istrinya bisa karena cintanya kepada wanita tersebut atau karena kasih sayangnya kepada wanita itu, yang selanjutnya dari cinta dan kasih sayang tersebut keduanya mendapatkan anak.

Sungguh, kita bisa melihat teladan yang baik dalam masalah ini dari Khadijah, isteri Rasulullah, yang telah memberikan andil besar dalam menenangkan rasa takut Rasulullah ketika beliau didatangi malaikat Jibril membawa wahyu yang pertama kalinya di goa Hira’. Nabi pulang ke rumah dengan gemetar dan hampir pingsan, lalu berkata kepada Khadijah, “Selimuti aku, selimuti aku! Sungguh aku khawatir dengan diriku.” Demi melihat Nabi yang demikian itu, Khadijah berkata kepada beliau, “Tenanglah. Sungguh, demi Allah, sekali-kali Dia tidak akan menghinakan dirimu. Engkau adalah orang yang senantiasa menyambung tali silaturahim, senantiasa berkata jujur, tahan dengan penderitaan, mengerjakan apa yang belum pernah dilakukan orang lain, menolong yang lemah dan membela kebenaran.” (HR. Bukhari, Kitab Bad’ al-Wahyi no. 3, dan Muslim, Kitab al-Iman no. 160)

Kita juga tentu tidak lupa dengan peran ‘Aisyah. Banyak para sahabat, baik yang laki-laki maupun yang perempuan, menerima hadits darinya berkenaan dengan hukum-hukum agama.

Kita juga tentu mengetahui sebuah kisah yang terjadi belum lama ini berkenaan dengan istri Imam Muhammad bin Su’ud, raja pertama kerajaan Arab Saudi. Kita mengetahui bahwa isteri beliau menasehati suaminya yang seorang raja itu untuk menerima dakwah Imam al-Mujaddid Muhammad bin Abdul Wahhab. Sungguh, nasehat isteri sang raja itu benar-benar membawa pengaruh besar hingga membuahkan kesepakatan antara Imam al-Mujaddid Muhammad bin Abdul Wahhab dengan Imam Muhammad bin Su’ud untuk menggerakkan dakwah. Dan -alhamdulillah— kita bisa merasakan hasil dari nasehat istri raja itu hingga hari ini, hal mana aqidah merasuk dalam diri anak-anak negeri ini. Dan tidak bisa dipungkiri pula bahwa ibuku sendiri memiliki peran dan andil yang besar dalam memberikan dorongan dan bantuan terhadap keberhasilan pendidikanku. Semoga Allah melipat gandakan pahala untuknya dan semoga Allah membalas kebaikannya kepadaku tersebut dengan balasan yang terbaik.

Tidak diragukan bahwa rumah yang penuh dengan rasa cinta, kasih dan sayang, serta pendidikan yang islami akan berpengaruh terhadap kehidupan seseorang. Dengan izin Allah seseorang yang hidup dalam lingkungan rumah seperti itu akan senantiasa mendapatkan taufik dari Allah dalam setiap urusannya, sukses dalam pekerjaan yang ditempuhnya, baik dalam menuntut ilmu, perdagangan, pertanian atau pekerjaan-pekerjaan lain.

Kepada Allah-lah aku memohon semoga Dia memberi taufik-Nya kepada kita semua sehingga dapat melakukan apa yang Dia cintai dan Dia ridhai. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya dan sahabat-sahabatnya. (Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu Baz III/348)

Tidak Suka Dengan Kelahiran Anak Wanita Termasuk Perilaku Jahiliyah

Tanya: Pada zaman ini, kita sering mendengar perkara-perkara yang biasa menjadi bahan perdebatan orang karena ganjilnya. Di antaranya mungkin kita pernah mendengar sebagian orang mengatakan, “Kami tidak suka menggauli istri kami jika yang lahir adalah anak perempuan.” Sebagian lagi mengatakan kepada istrinya, “Demi Allah, jika engkau melahirkan anak perempuan, saya akan menceraikanmu.” -Kita berlepas diri dari orang-orang seperti itu-. Sebagian dari wanita ada yang mendapatkan perlakuan semacam itu dari suaminya. Mereka merasa gelisah dengan perkataan suaminya yang seperti itu. Bagaimana dan apa yang mesti mereka perbuat terhadap perkataan suami seperti itu? Apa nasehat Syaikh dalam masalah ini?

Jawab: Saya yakin apa yang dikatakan saudara penanya adalah sesuatu yang sangat jarang terjadi. Saya tidak habis pikir, bagaimana ada seorang suami yang kebodohannya sampai pada taraf seperti itu; mengultimatum akan menceraikan isterinya jika anak yang dilahirkannya anak perempuan. Lain masalahnya, kalau sebenarnya dia sudah tidak suka dengan isterinya, kemudian ingin menceraikannya dan menjadikan masalah ini sebagai alasan agar dapat menceraikannya. Jika ini masalah yang sebenarnya; dia sudah tidak bisa bersabar lagi untuk hidup bersama isterinya, dan telah berusaha untuk tetap hidup berdampingan dengannya akan tetapi tidak berhasil; jika ini masalah yang sebenarnya, hendaknya dia mencerai istrinya dengan cara yang jelas, bukan dengan alasan seperti itu.

Karena perceraian dibolehkan asalkan dengan dengan alasan yang syar’i. Akan tetapi, meskipun demikian, kami menasehatkan kepada para suami yang mendapatkan hal-hal yang tidak disukai pada diri isterinya agar bersabar, sebagaimana yang difirmankan Allah, “Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka (isteri-isteri kamu), (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa’: 19)

Adapun membenci anak perempuan, tidak diragukan bahwa itu merupakan perilaku jahiliyah, dan di dalamnya terkandung sikap tasakhuth (tidak menerima) terhadap apa yang telah menjadi ketetapan dan takdir Allah. Manusia tidak tahu, mungkin saja anak-anak perempuan yang dimilikinya akan lebih baik baginya daripada mempunyai banyak anak laki-laki. Berapa banyak anak-anak perempuan justru menjadi berkah bagi ayahnya baik semasa hidupnya maupun setelah matinya. Dan berapa banyak anak-anak lelaki justru menjadi bala dan bencana bagi ayahnya semasa hidupnya dan tidak memberi manfaaat sedikit pun setelah matinya.

Rujukan:
Fatawa Ulama al-Balad al-Haram hal. 519.
Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu Baz (III/348).

Sumber: Majalah Fatawa

Sunday, August 23, 2009

Mari menambah ilmu..selamat datang ke kedai buku sunshine bookstore!!!!

assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh...

BERKHIDMAT UNTUK PEMBANGUNAN UMMAH!!!

alhamdulillah dengan beberapa orang sahabat, kami telah melancarkan sebuah kedai buku yang menjual pelbagai jenis buku termasuk buku-buku agama,al-Quran, kitab- kitab muktabar, buku-buku perbandingan agama , majalah-majalah ilmiah seperti Times ,surat khabar dan macam - macam lagi seperti minyak atar, batch islamik...

jika anda ingin mendapatkan madu lebah jenis tualang juga terdapat di sini. kami juga meNjual jubah untuk muslimin dan muslimah, baju melayu dan baju raihan .bersempena dengan bulan ramadhan kedai kami juga menjual buah tamar.

lokasi kedai : Pasar pelajar USM. bersebelahan kedai unicreatif dan ekon Shop. ( Dalam Kawasan Universiti Sains malaysia...

sebarang pertanyaan atau tempahan boleh hubungi :
019-4193587 ( rahilah)

selamat datang....kami berkhidmat untuk pembangunan ummah...WELCOME TO OUR SHOP...SUNSHINE BOOKSTORE...!!!

melahirkan graduan berdikari dan bijak berniaga...insyaALLAH...

Thursday, March 5, 2009

Masih ada jalan keluar


Oleh : Ilham Fatahillah
sumber: email yang di hantar oleh sahabat.( jazakllAH ukhti manis :-) )
asiah_islam@yahoo.com.my

MASIH ADA JALAN KELUAR


Ketika permasalahan hidup membelit dan kebingungan serta kegalauan mendera rasa hati. Ketika gelisah jiwa menghempas-hempas. Ketika semua pintu solusi terlihat buntu. Dan kepala serasa hendak meledak: tak mengerti apalagi yang mesti dilakukan. Tak tahu lagi jalan mana yang harus ditempuh. Hingga dunia terasa begitu sempit dan menyesakkan.

Ketika kepedihan merujit-rujit hati. Ketika kabut kesedihan meruyak, menelusup ke dalam sanubari. Atas musibah-musibah yang beruntun mendera diri. Apalagi yang dapat dilakukan untuk meringankan beban perasaan? Apalagi yang dapat dikerjakan untuk melepas kekecewaan?

Ketika kesalahan tak sengaja dilakukan. Ketika beban dosa terasa menghimpit badan. Ketika rasa bersalah mengalir ke seluruh pembuluh darah. Ketika penyesalan menenggelamkan diri dalam air mata kesedihan. Apa yang dapat dilakukan untuk meringankan beban jiwa ini?

Allah berfirman, "Barangsiapa bertakwa kepada-Nya, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar."

Rasulullah bersabda, "Ikutilah kesalahan dengan amal baik, niscaya ia akan menghapus dosa-dosamu."

Ibnul Jauzi pernah berkata, "aku pernah dihimpit permasalahan yang membuatku gelisah dan galau berlarut-larut. Kupikirkan dan kucari solusi dengan segala cara dan usaha. Tapi aku tidak menemukan satu jalan pun untuk keluar darinya, hingga kutemukan ayat itu. Maka kusadari, bahwa jalan satu-satunya keluar dari segala kegalauan adalah ketakwaan. Dan ketika jalan ketakwaan itu kutempuh, tiba-tiba Allah sudah lebih dulu menurunkan penyelesaian. Maha suci Allah".

Sungguh kita semua pasti pernah merasakan kebuntuan hati. Seolah semua jalan keluar sudah tertutup rapat. Maka saat itulah kita baru menyadari betapa lemahnya kita dan betapa besarnya kekuasaan Allah SWT.

Menyadari kelemahan bukan berarti pasrah sebelum ikhtiar. Bukan pula pembenaran atas segala kesalahan dan kecerobohan. Namun sebagai bentuk bersandarnya hati pada Dzat yang Maha Besar yaitu Allah SWT, manakala semua langkah ikhtiar untuk keluar dari permasalahan sudah dicoba.

Saudaraku.... Tapakilah jalan takwa, niscaya akan datang pertolongan Allah. Dan segala kegelisahan pun akan segera sirna. Wallahu a'lam.

PEKERJAAN WANITA MUSLIMAH...

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin


Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah boleh bekerjanya
kaum wanita di kantor-kantor, yaitu jika bekerjanya itu di kantor urusan
agama dan perwakafan ?

Jawaban
Bekerjanya kaum wanita di kantor-kantor tidak terlepas dari dua kemungkinan.

Pertama.
Di kantor-kantor khusus wanita, misalnya kantor pembinaan sekolah-sekolah
puteri dan sejenisnya yang hanya dikunjungi oleh kaum wanita. Bekerjanya
wanita di kantor semacama ini tidak apa-apa.

Kedua.
Jika dikantornya terjadi campur baur antara kaum laki-laki dengan kaum
wanita, maka wanita tidak boleh bekerja di sana dengan mitra kerja laki-laki
yang sama-sama bekerja di satu tempat bekerja. Demikian ini karena bisa
terjadi fitnah akibat bercampur baurnya kaum laki-laki dengan kaum wanita.

Nabi saw telah memperingatkan umatnya terhadap
fitnah kaum wanita, beliau mengabarkan bahwa setelah meninggalnya beliau,
tidak ada fitnah yang lebih membahayakan kaum laki-laki dari pada fitnahnya
kaum wanita, bahkan di tempat-tempat ibadah pun Nabi Shallallahu
saw sangat menganjurkan jauhnya kaum wanita dari kaum laki-laki,
sebagaimana disebutkan dalam salah satu sabda beliau.

Artinya : Sebaik-baik shaf kaum wanita adalah yang paling akhir (paling
belakang) dan seburuk-buruknya adalah yang pertama (yang paling depan)
[Hadits Riwayat Muslim dalam Ash-Shalah 440]

Karena shaf pertama (paling depan) adalah shaf yang paling dekat dengan shaf
kaum laki-laki sehingga menjadi shaf yang paling buruk, sementara shaf yang
paling akhir (paling belakang) adalah yang paling jauh dari shaf laki-laki.
Ini bukti nyata bahwa syariat menetapkan agar wanita menjauhi campur
baur dengan laki-laki. Dari hasil pengamatan terhadap kondisi umat jelas sekali
bahwa campur baurnya kaum wanita dengan kaum laki-laki merupakan fitnah
besar yang mereka akui, namun kini mereka tidak bisa melepaskan diri dari
itu begitu saja, karena kerusakan merajalela.

[Nur ââ‚ËœAla Ad-Darb, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal.82-83]

[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syariyyah Fi Al-Masail
Al-Ashriyyah
Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-2,
hal 520 - 521 Darul Haq]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=969&bagian=0

Thursday, February 5, 2009

Bersatu dan Berpisah kerana ALLAH...

Kondisi umat Islam yang berpecah sering
memunculkan keprihatinan. Dari beberapa tokoh Islam sering muncul
ajakan agar semua kelompok bersatu dalam satu wadah, tidak perlu
mempermasalahkan perbedaan yang ada karena yang penting tujuannya sama
yaitu memajukan Islam. Mungkinkah umat Islam bersatu dan bagaimana
caranya?

Persatuan dan perpecahan merupakan dua kata yang saling berlawanan.
Persatuan identik dengan keutuhan, persaudaraan, kesepakatan, dan
perkumpulan. Sedangkan perpecahan identik dengan perselisihan,
permusuhan, pertentangan dan perceraian.

Persatuan merupakan perkara yang diridhai dan diperintahkan oleh
Allah, sedangkan perpecahan merupakan perkara yang dibenci dan dilarang
oleh-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:


“Dan berpegang teguhlah kalian semua dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai.” (Ali Imran: 103)

Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Allah telah
memerintahkan kepada mereka (umat Islam, red) untuk bersatu dan
melarang mereka dari perpecahan. Dalam banyak hadits juga terdapat
larangan dari perpecahan dan perintah untuk bersatu dan berkumpul.”
(Tafsir Ibnu Katsir, 1/367)

Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah berkata: “Sesungguhnya
Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan
kepada kita satu jalan yang wajib ditempuh oleh seluruh kaum muslimin,
yang merupakan jalan yang lurus dan manhaj bagi agama-Nya yang benar
ini. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Dan bahwasanya (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanku yang
lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan
(yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari
jalan-Nya. Yang demikian itu Allah perintahkan kepada kalian agar
kalian bertaqwa.” (Al-An’am: 153).

Sebagaimana pula Dia telah melarang umat Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam dari perpecahan dan perselisihan pendapat, karena yang
demikian itu merupakan sebab terbesar dari kegagalan dan merupakan
kemenangan bagi musuh. Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:


“Dan berpegang teguhlah kalian semua dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai.” (Ali Imran: 103)

Dan firman-Nya ta’ala:

Dia telah mensyariatkan bagi kalian tentang agama, apa yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada
Ibrahim, Musa, dan ‘Isa, yaitu: ‘Tegakkanlah agama dan janganlah kalian
berpecah belah tentangnya’. Amat berat bagi orang musyrik agama yang
kalian seru mereka kepada-Nya.” (Asy-Syura: 13).

(Majmu’ Fataawa wa Maqaalat Mutanawwi’ah, 5/202, dinukil dari
kitab Jama’ah Wahidah Laa Jama’at, karya Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi
Al-Madkhali, hal. 176)

Asas dan Hakekat Persatuan

Asas bagi persatuan yang diridhai dan diperintahkan oleh Allah,
bukanlah kesukuan, organisasi, kelompok, daerah, partai, dan lain
sebagainya. Akan tetapi asasnya adalah: Al

Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan
pemahaman As-Salafush Shalih. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Dan berpegang teguhlah kalian semua dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai.” (Ali Imran: 103)

Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata: “Allah subhanahu wa ta’ala
mewajibkan kepada kita agar berpegang teguh dengan Kitab-Nya (Al Quran)
dan Sunnah Nabi-Nya, serta merujuk kepada keduanya di saat terjadi
perselisihan. Ia (juga) memerintahkan kepada kita agar bersatu di atas
Al Qur’an dan As Sunnah secara keyakinan dan amalan, itulah sebab
keselarasan kata dan bersatunya apa yang tercerai-berai, yang dengannya
akan teraih maslahat dunia dan agama serta selamat dari perselisihan…”
(Tafsir Al-Qurthubi, 4/105)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Sebagaimana
tidak ada generasi yang lebih sempurna dari generasi para shahabat,
maka tidak ada pula kelompok setelah mereka yang lebih sempurna dari
para pengikut mereka. Maka dari itu siapa saja yang lebih kuat dalam
mengikuti hadits Rasulullah dan Sunnahnya, serta jejak para shahabat,
maka ia lebih sempurna. Kelompok yang seperti ini keadaannya, akan
lebih utama dalam hal persatuan, petunjuk, berpegang teguh dengan tali
(agama) Allah dan lebih terjauhkan dari perpecahan, perselisihan, dan
fitnah. Dan siapa saja yang menyimpang jauh dari itu (Sunnah Rasulullah
dan jejak para shahabat), maka ia akan lebih jauh dari rahmat Allah dan
lebih terjerumus ke dalam fitnah.” (Minhaajus Sunnah, 6/368)

Oleh karena itu, walaupun berbeda-beda wadah, organisasi, yayasan
dan semacamnya, namun dengan syarat “tidak fanatik dengan ‘wadah’-nya
dan berada di atas satu manhaj”, berpegang teguh dengan Al Qur’an dan
Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan pemahaman para
shahabat (As-Salafush Shalih), maka ia tetap dinyatakan dalam koridor
persatuan dan bukan bagian dari perpecahan.

Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah berkata: “Tidak
masalah jika mereka berkelompok-kelompok di atas jalan ini, satu
kelompok di Ib dan satu kelompok di Shan’a, akan tetapi semuanya berada
di atas manhaj salaf, mengikuti Al Qur’an dan As Sunnah, berdakwah di
jalan Allah dan ber-intisab kepada Ahlus Sunnah Wal Jamaah, tanpa ada
sikap fanatik terhadap kelompoknya. Yang demikian ini tidak mengapa,
walaupun berkelompok-kelompok, asalkan satu tujuan dan satu jalan
(manhaj).” (At-Tahdzir Minattafarruqi Wal Hizbiyyah, karya Dr. Utsman
bin Mu’allim Mahmud dan Dr. Ahmad bin Haji Muhammad, hal. 15).


Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata:
“Bila kita anggap bahwa di negeri-negeri kaum muslimin terdapat
kelompok-kelompok yang berada di atas manhaj ini (manhaj salaf, pen),
maka tidak termasuk kelompok-kelompok perpecahan. Sungguh ia adalah
satu jamaah, manhajnya satu dan jalannya pun satu. Maka
terpisah-pisahnya mereka di suatu negeri bukanlah karena perbedaan
pemikiran, aqidah dan manhaj, akan tetapi semata perbedaan letak/tempat
di negeri-negeri tersebut. Hal ini berbeda dengan kelompok-kelompok dan
golongan-golongan yang ada, yang mereka itu berada di satu negeri namun
masing-masing merasa bangga dengan apa yang ada pada golongannya.”
(Jama’ah Wahidah Laa Jama’at, hal. 180).

Dengan demikian, kita bisa menyimpulkan bahwa bila suatu persatuan
berasaskan Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
dengan pemahaman para shahabat (As-Salafush Shalih) maka itulah
sesungguhnya hakekat persatuan yang diridhai dan diperintahkan oleh
Allah subhanahu wa ta’ala, walaupun terpisahkan oleh tempat.

Bahaya Perpecahan

Bila kita telah mengetahui bahwa hakekat persatuan yang diridhai
dan diperintahkan oleh Allah adalah yang berasaskan Al Qur’an dan As
Sunnah dengan pemahaman As-Salafush Shalih, maka bagaimana dengan
firqah-firqah (kelompok-kelompok) yang ada di masyarakat kaum muslimin,
yang masing-masing berpegang dengan prinsip dan aturan kelompoknya,
saling bangga satu atas yang lain, loyalitasnya dibangun di atas
kungkungan ikatan kelompok, apakah sebagai embrio persatuan umat,
ataukah sebagai wujud perpecahan umat?

Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah berkata: “Tidak diragukan
lagi bahwa banyaknya firqah dan jamaah di masyarakat kaum muslimin
merupakan sesuatu yang diupayakan oleh setan dan musuh-musuh Islam dari
kalangan manusia.” (Majmu’ Fataawa wa Maqaalat Mutanawwi’ah, 5/204,
dinukil dari kitab Jama’ah Wahidah Laa Jama’at, hal. 177).

Beliau juga berkata: “Adapun berkelompok untuk Ikhwanul Muslimin
atau Jama’ah Tabligh atau demikian dan demikian, kami tidak
menasehatkannya, ini salah! Akan tetapi kami nasehatkan mereka semua
agar menjadi satu golongan, satu kelompok, saling berwasiat dengan
kebenaran dan kesabaran, serta bersandar kepada Ahlus Sunnah Wal
Jamaah.” (At-Tahdzir Minattafarruqi wal Hizbiyyah, hal. 15).

Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata:
“Tidaklah asing bagi setiap muslim yang memahami Al Qur’an dan As
Sunnah serta manhaj As-Salafush Shalih, bahwasanya bergolong-golongan
bukan dari ajaran Islam, bahkan termasuk yang dilarang oleh Allah
subhanahu wa ta’ala dalam banyak ayat dari Al Qur’anul Karim, di
antaranya firman Allah subhanahu wa ta’ala:


“Dan janganlah kalian termasuk orang-orang yang mempersekutukan
Allah. Yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka
menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa
yang ada pada golongan mereka.” (Ar-Rum: 31-32).[Fataawa Asy-Syaikh
Al-Albani, karya ‘Ukasyah Abdul Mannan, hal. 106, dinukil dari Jama’ah
Wahidah Laa Jama’at, hal. 178]



Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata:
“Dan tidak diragukan lagi bahwa kelompok-kelompok ini menyelisihi apa
yang telah diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, bahkan
menyelisihi apa yang selalu dihimbau dalam firman-Nya:



“Sesungguhnya (agama tauhid) ini, adalah agama kalian semua, agama
yang satu dan Aku adalah Tuhan kalian, maka bertakwalah kepada-Ku.”
(Al-Mu’minun: 52)



Lebih-lebih tatkala kita melihat akibat dari perpecahan dan
bergolong-golongan ini, di mana tiap-tiap golongan mengklaim yang
lainnya dengan kejelekan, cercaan dan kefasikan, bahkan bisa lebih dari
itu. Oleh karena itu saya memandang bahwa bergolong-golongan ini adalah
perbuatan yang salah.” (At-Tahdzir Minattafarruqi wal Hizbiyyah, hal.
16).



Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan berkata: “Agama kita adalah
agama persatuan, dan perpecahan bukanlah dari agama. Maka berbilangnya
jamaah-jamaah ini bukanlah dari ajaran agama, karena agama
memerintahkan kepada kita agar menjadi satu jamaah.” (Muraja’at fii
Fiqhil Waaqi’ As Siyaasi wal Fikri, karya Dr. Abdullah bin Muhammad
Ar-Rifa’i rahimahullah, hal. 44-45).



Beliau juga berkata: “Hanya saja akhir-akhir ini, muncul
kelompok-kelompok yang disandarkan kepada dakwah dan bergerak di bawah
kepemimpinan yang khusus, masing-masing kelompok membuat manhaj
tersendiri, yang akhirnya mengakibatkan perpecahan, perselisihan dan
pertentangan di antara mereka, yang tentunya ini dibenci oleh agama dan
terlarang di dalam Al Qur’an dan As Sunnah.” (Taqdim/Muqaddimah kitab
Jama’ah Wahidah Laa Jama’at).

Bukankah mereka juga berpegang dengan Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah? Demikian terkadang letupan hati berbunyi.

Asy-Syaikh Shalih bin Sa’ad As-Suhaimi berkata: “Jika benar apa
yang dinyatakan oleh kelompok-kelompok yang amat banyak ini, bahwa
mereka berpegang dengan Al Qur’an dan As Sunnah, niscaya mereka tidak
akan berpecah belah, karena kebenaran itu hanya satu dan berbilangnya
mereka merupakan bukti yang kuat atas perselisihan di antara mereka,
suatu perselisihan yang muncul dikarenakan masing-masing kelompok
berpegang dengan prinsip yang berbeda dengan kelompok lainnya. Tatkala
keadaannya demikian, pasti terjadi perselisihan, perpecahan, dan
permusuhan.” (An-Nashrul Azis ‘Alaa Ar Raddil Waziz, karya Asy-Syaikh
Rabi’ bin Hadi Al Madkhali rahimahullah, hal. 46)

Pertanyaan Penting

1.Bagaimanakah masuk menjadi anggota kelompok-kelompok yang ada dengan tujuan ingin memperbaiki dari dalam ?

Asy-Syaikh Abdul ‘Azis bin Baaz rahimahullah berkata: “Adapun
berkunjung untuk mendamaikan di antara mereka, mengajak dan mengarahkan
kepada kebaikan dan menasehati mereka, dengan tetap berpijak di atas
jalan Ahlus Sunnah Wal Jamaah maka tidak apa-apa. Adapun menjadi
anggota mereka, maka tidak boleh. Dan jika mengunjungi Ikhwanul
Muslimin atau Firqah Tabligh dan menasehati mereka karena Allah seraya
berkata: ‘Tinggalkanlah oleh kalian fanatisme, wajib bagi kalian
(menerima) Al Qur’an dan As Sunnah, berpegang teguhlah dengan keduanya,
bergabunglah kalian bersama orang-orang yang baik, tinggalkanlah
perpecahan dan perselisihan’, maka ini adalah nasehat yang baik.”
(At-Tahdzir Minattafarruqi Wal Hizbiyyah, hal. 15-16)



2. Bukankah dengan adanya peringatan terhadap kelompok-kelompok yang
ada dan para tokohnya, justru semakin membuat perpecahan dan tidak akan
terwujud persatuan?

Asy-Syaikh Hamd bin Ibrahim Al-‘Utsman berkata: “Kebanyakan
orang-orang awam dari kaum muslimin kebingungan dalam permasalahan ini,
mereka mengatakan: ‘Mengapa sesama ulama kok saling memperingatkan satu
dari yang lain?!’ Di kalangan terpelajar pun demikian, mereka meminta
agar bantahan dan peringatan terhadap orang-orang yang salah dan
ahlulbid’ah dihentikan demi terwujudnya persatuan dan kesatuan umat.
Mereka tidak mengetahui bahwa bid’ah-bid’ah, kesalahan-kesalahan dan
jalan yang berbeda-beda (dalam memahami agama ini, pen) justru
merupakan faktor utama penyebab perpecahan, dan faktor utama yang dapat
mengeluarkan manusia dari jalan yang lurus. Dengan tetap adanya
jalan-jalan yang menyimpang itu, tidak akan terwujud persatuan
selama-lamanya.” (Zajrul Mutahaawin bi Dharari Qa’idah Al-Ma’dzirah
Watta’aawun, hal. 98)


Nasehat dan Ajakan

Asy-Syaikh ‘Ubaid bin Abdullah Al-Jabiri berkata: “Tidak ada solusi
dari perpecahan, tercabik-cabiknya kekuatan dan rapuhnya barisan
kecuali dengan dua perkara:

Pertama: Menanggalkan segala macam bentuk penyandaran (atau
keanggotaan) yang dibangun di atas ikatan kelompok-kelompok nan sempit,
yang dapat menimbulkan perpecahan dan permusuhan.


Kedua: Kembali kepada jamaah Salafiyyah (yang bermanhaj salaf,
pen), karena sesungguhnya dia adalah ajaran yang lurus, dan cahaya
putih yang terang benderang, malamnya sama dengan siangnya, tidaklah
ada yang tersesat darinya kecuali orang-orang yang binasa. Dia adalah
Al-Firqatun Najiyah (golongan yang selamat, pen), dan At-Thaifah
Al-Manshurah (kelompok yang ditolong dan dimenangkan oleh Allah, pen).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: ‘Tidak tercela bagi
siapa saja yang menampakkan manhaj salaf, berintisab dan bersandar
kepadanya, bahkan yang demikian itu disepakati dan wajib diterima,
karena manhaj salaf pasti benar...’.” (Tanbih Dzawil ‘Uquulis Salimah
ilaa Fawaida Mustanbathah Minassittatil Ushulil ‘Azhimah, hal. 24).

Sungguh benar apa yang dinasehatkan oleh Asy-Syaikh ‘Ubaid bin
Abdullah Al-Jabiri, karena As-Salafiyyah tidaklah sama dengan
kelompok-kelompok yang ada. As-Salafiyyah tidaklah dibatasi
(terkungkung) oleh organisasi tertentu, kelompok tertentu, daerah
tertentu, pemimpin tertentu… suatu kungkungan hizbiyyah yang sempit,
bahkan As-Salafiyyah dibangun di atas Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam dengan pemahaman As-Salafush Shalih. Siapa
pun yang berpegang teguh dengannya maka ia adalah saudara, walaupun
dipisahkan oleh tempat dan waktu… suatu ikatan suci yang dihubungkan
oleh ikatan manhaj, manhaj yang ditempuh oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam dan para shahabatnya.

Mudah-mudahan Allah subhanahu wa ta’ala, senantiasa menjauhkan kita
semua dari perpecahan, dan menyatukan kita semua di atas persatuan
hakiki yang berasaskan Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam dengan pemahaman As- Salafush Shalih.
http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=118%20

Bersatu dan Berpisah Karena Allah
Selasa, 29-Januari-2008, Penulis: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Al-Atsari, Lc
sumber: http://www.darussalaf.or.id

Tuesday, January 6, 2009

Qunut NAziLah



sumber : http://marufclub.blogspot.com/