? ??????????????Never Leave? ????? ?? ???Rating: 5.0 (1 Rating)??8 Grabs Today. 981 Total Grabs. ??????Pre
view?? | ??Get the Code?? ?? ???????????????????????????????????????????Unreachable Star? ????? ?? ???Rating: 4.2 (9 Ratings)??7 Grabs Today. 3378 Total Grabs. ??????Preview?? | ??Ge BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS ?

Monday, July 7, 2008

Madrasah Cinta

Apa yang paling dinanti seorang wanita yang baru saja
menikah? Sudah pasti jawabannya adalah kehamilan.
Seberapa jauh pun jalan yang harus ditempuh, seberat
apa pun langkah yang mesti diayun, seberapa lama pun
waktu yang kan dijalani, tak kenal menyerah demi
mendapatkan satu kepastian dari seorang bidan;
positif.

Meski berat, tak ada yang membuatnya mampu bertahan
hidup kecuali benih dalam kandungannya. Menangis,
tertawa, sedih dan bahagia tak berbeda baginya, karena
ia lebih mementingkan apa yang dirasa si kecil di
perutnya. Seringkali ia bertanya; menangiskah ia?
Tertawakah ia? Sedih atau bahagiakah ia di dalam sana?
Bahkan ketika waktunya tiba, tak ada yang mampu
menandingi cinta yang pernah diberikannya, ketika mati
pun akan dipertaruhkannya asalkan generasi penerusnya
itu bisa terlahir ke dunia. Rasa sakit pun sirna
sekejap mendengar tangisan pertama si buah hati, tak
peduli darah dan keringat yang terus bercucuran. Detik
itu, sebuah episode cinta baru saja berputar.

Tak ada yang lebih membanggakan untuk diperbincangkan
selain anak-anak. Tak satu pun tema yang paling
menarik untuk didiskusikan bersama rekan sekerja,
teman sejawat, kerabat maupun keluarga, kecuali
anak-anak. Si kecil baru saja berucap Ma… segera ia
mengangkat telepon untuk mengabarkan ke semua yang ada
didaftar telepon. Saat baru pertama berdiri, ia pun
berteriak histeris, antara haru, bangga dan sedikit
takut si kecil terjatuh dan luka. Hari pertama sekolah
adalah saat pertama kali matanya menyaksikan langkah
awal kesuksesannya. Meskipun disaat yang sama,
pikirannya terus menerawang dan bibirnya tak lepas
berdoa, berharap sang suami tak terhenti rezekinya.
Agar langkah kaki kecil itu pun tak terhenti di tengah
jalan.

Demi anak, Untuk anak, menjadi alasan utama ketika
ia berada di pasar berbelanja keperluan si kecil. Saat
ia berada di pesta seorang kerabat atau keluarga dan
membungkus beberapa potong makanan dalam tissue. Ia
selalu mengingat anaknya dalam setiap suapan nasinya,
setiap gigitan kuenya, setiap kali hendak berbelanja
baju untuknya. Tak jarang, ia urung membeli baju
untuknya dan berganti mengambil baju untuk anak.
Padahal, baru kemarin sore ia membeli baju si kecil.
Meski pun, terkadang ia harus berhutang. Lagi-lagi
atas satu alasan, demi anak.

Disaat pusing pikirannya mengatur keuangan yang serba
terbatas, periksalah catatannya. Di kertas kecil itu
tertulis: 1. Uang sekolah anak, 2. Beli susu anak, …
nomor urut selanjutnya baru kebutuhan yang lain. Tapi
jelas di situ, kebutuhan anak senantiasa menjadi
prioritasnya. Bahkan, tak ada beras di rumah pun tak
mengapa, asalkan susu si kecil tetap terbeli. Takkan
dibiarkan si kecil menangis, apa pun akan dilakukan
agar senyum dan tawa riangnya tetap terdengar.

Ia menjadi guru yang tak pernah digaji, menjadi
pembantu yang tak pernah dibayar, menjadi pelayan yang
sering terlupa dihargai, dan menjadi babby sitter yang
paling setia. Sesekali ia menjelma menjadi puteri
salju yang bernyanyi merdu menunggu suntingan sang
pangeran. Keesokannya ia rela menjadi kuda yang
meringkik, berlari mengejar dan menghalau musuh agar
tak mengganggu. Atau ketika ia dengan lihainya menjadi
seekor kelinci yang melompat-lompat mengelilingi
kebun, mencari wortel untuk makan sehari-hari. Hanya
tawa dan jerit lucu yang ingin didengarnya dari
kisah-kisah yang tak pernah absen didongengkannya.
Kantuk dan lelah tak lagi dihiraukan, walau harus
menyamarkan suara menguapnya dengan auman harimau.
Atau berpura-pura si nenek sihir terjatuh dan mati
sekadar untuk bisa memejamkan mata barang sedetik.
Namun, si kecil belum juga terpejam dan memintanya
menceritakan dongeng ke sekian. Dalam kantuknya, ia
terus pun mendongeng.

Tak ada yang dilakukannya di setiap pagi sebelum
menyiapkan sarapan anak-anak yang akan berangkat ke
kampus. Tak satu pun yang paling ditunggu
kepulangannya selain suami dan anak-anak tercinta.
Serta merta kalimat, sudah makan belum? tak lupa
terlontar saat baru saja memasuki rumah. Tak peduli
meski si kecil yang dulu kerap ia timang dalam
dekapannya itu sudah menjadi orang dewasa yang bisa
membeli makan siangnya sendiri di kampus.

Hari ketika si anak yang telah dewasa itu mampu
mengambil keputusan terpenting dalam hidupnya, untuk
menentukan jalan hidup bersama pasangannya, siapa yang
paling menangis? Siapa yang lebih dulu menitikkan air
mata? Lihatlah sudut matanya, telah menjadi samudera
air mata dalam sekejap. Langkah beratnya ikhlas
mengantar buah hatinya ke kursi pelaminan. ia menangis
melihat anaknya tersenyum bahagia dibalut gaun
pengantin. Di saat itu, ia pun sadar buah hati yang
bertahun-tahun menjadi kubangan curahan cintanya itu
tak lagi hanya miliknya. Ada satu hati lagi yang
tertambat, yang dalam harapnya ia berlirih, Masihkah
kau anakku?

Saat senja tiba. Ketika keriput di tangan dan wajah
mulai berbicara tentang usianya. Ia pun sadar, bahwa
sebentar lagi masanya kan berakhir. Hanya satu pinta
yang sering terucap dari bibirnya, bila ibu
meninggal, ibu ingin anak-anak ibu yang memandikan.
Ibu ingin dimandikan sambil dipangku kalian. Tak
hanya itu, imam shalat jenazah pun ia meminta dari
salah satu anaknya. Agar tak percuma ibu mendidik
kalian menjadi anak yang shalih sejak kecil, ujarnya.


Duh ibu, semoga saya bisa menjawab pintamu itu kelak.
Bagaimana mungkin saya tak ingin memenuhi pinta itu?
Sejak saya kecil ibu telah mengajarkan arti cinta
sebenarnya. Ibu lah madrasah cinta saya, sekolah yang
hanya punya satu mata pelajaran: cinta. Sekolah yang
hanya ada satu guru: pecinta. Sekolah yang semua
murid-muridnya diberi satu nama: yang dicinta...i love u mak...

http://poetryimoet.multiply.com

0 comments: